SANGPEM - Jumat 14 Maret 2014 barangkali menjadi hari yang cukup bersejarah bagi PDI-Perjuangan karena saat itu 22 purnawirawan jenderal TNI dan Polri menyatakan bergabung dengan partai berlambang moncong putih tersebut, demi menyukseskan pencapresan
Jokowi di Pemilu 2014 ini.
"Ibu Mega telah memutuskan suatu hal luar biasa di tengah-tengah kerinduan rakyat akan hadirnya pemimpin yang mau mendahulukan kepentingan bangsa," ujar Jenderal (Purn) Luhut B Pandjaitan, salah satu dari 22 purnawirawan jenderal TNI dan Polri yang merapat ke PDIP, saat menyampaikan dukungannya tersebut di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
|
Luhut B. Panjaitan. (int) |
Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada Kabinet Persatuan ini optimistis Jokowi takkan menyia-nyiakan mandat yang diberikan Ketua Umum PDIP
Megawati Soekarnoputri kepadanya, sehingga mantan walikota Solo itu dapat maju sebagai capres, dan menyatakan bahwa Pemilu 2014 ini akan menarik karena Jokowi akan bertemu dengan Aburizal Bakrie sebagai capres dari Partai Golkar.
"Hanya mereka berdua (PDIP dan Golkar) yang mempunyai kemungkinan lolos dan sanggup menembus ambang batas parliamentary threshold sebesar 20 persen suara nasional. Kami mengapresiasi keduanya," ujar purnawirawan yang juga merupakan wakil ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar ini.
Terkesan tak ada yang istimewa dalam peristiwa bergabungnya ke-22 purnawirawan TNI dan Polri itu ke PDIP demi menyukseskan pencapresan Jokowi, namun jika Anda membaca berita yang dilansir
VOA Islam dan dikutip
akhirzaman.info, Anda akan tercengang karena di situ disebutkan bahwa Luhut adalah jenderal yang mengkonsolidasikan konglomerat Indonesia keturunan Tionghoa di Singapura, yang beberapa di antaranya masih berstatus sebagai buronan kasus BLBI. Jumlah konglomerat yang dikonsilidasikan sekitar 20 orang. Benarkah?
Hingga kini belum ada sanggahan atau klarifikasi atas tulisan tersebut, namun pegiat LSM senior Amir Hamzah mengatakan, Jokowi dan Megawati Soekarnoputri pada Oktober 2013 silam memang pernah ke Singapura, dan setelah itu, pada 13 Maret 2014, sekitar 60 pengusaha rapat bersama Mega di kantor DPP PDIP di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Amir bahkan mengatakan, rentetan kejadian itu memiliki makna tersendiri karena berdasarkan informasi yang ia dapat, Mega sebenarnya masih ingin maju sebagai capres, namun karena ada tekanan, terutama dari kelompok konspirasi di eksternal PDIP, dia pun memberi mandat kepada Jokowi untuk nyapres.
Ketika ditanya kelompok konspirasi mana yang menekan Mega, Amir menduga kalau 60 pengusaha yang rapat dengan Mega kemungkinan ada yang merupakan perwakilan-perwakilan dari hasil kunjungan Mega dan Jokowi ke Singapura.
"Karena itu saya berharap, jika analisa saya ini benar, masyarakat waspada. Jika tidak, maka Pilpres 2014 akan menghasilkan seorang presiden virtual (presiden boneka) yang sepak terjangnya sama dengan presiden AS ke-28, Woodrow Wilson," imbuh dia.
Pertanyaannya sekarang, apakah Mega dan Jokowi ke Singapura untuk dipertemukan dengan 20 konglomerat yang telah dikonsolidasikan itu? Menarik untuk dikaji apa yang dikatakan Wasekjen PDIP Eriko Sotarduga kepada media setelah pertemuan Mega dengan ke-60 pengusaha tersebut di kantor DPP PDIP.
"Para pengusaha ingin memberikan masukan pemikiran bilamana
PDI Perjuangan diberikan kesempatan melalui pilihan rakyat untuk memimpin dalam pemerintahan yang akan datang. Pertemuan itu dalam rangka membangun komunikasi dengan para pengusaha. PDIP juga mengharapkan dukungan para pengusaha itu," katanya.
Yang juga menjadi pertanyaan, di antara para tokoh yang telah menyatakan maju sebagai capres 2014, ada dua yang merupakan purnawirawan TNI, yakni Wiranto dari Partai Hanura, dan Prabowo Subianto dari Partai Gerindra, tapi mengapa para purnawirawan TNI mendukung Jokowi?
Soal ini Amir Hamzah mengatakan, soal siapa mendukung siapa, itu hak setiap orang yang tak dapat diganggu gugat. Apalagi karena dalam dunia politik tidak ada kawan atau lawan. Yang ada hanya kepentingan.
Namun demikian, jelasnya, sejak para tentara masih di akademi, memang telah ada rivalitas yang dipicu oleh masalah angkatan dan oleh adanya kelompok-kelompok selama masih di akademi tersebut. Kondisi ini diperparah pada masa Orde Baru karena kedekatan para tentara dengan penguasa kala itu berlapis-lapis dimana dikenal dengan istilah lingkaran satu, lingkaran dua, lingkaran tiga dan seterusnya.
"Tapi karena di era itu dominasi Soeharto di internal TNI cukup kuat, rivalitas itu tidak muncul ke permukaan dan diketahui publik. Namun setelah Orde Baru tumbang dan berganti era reformasi, ya, sudah, bubar. Apalagi karena organisasi purnawirawan TNI kan sekarang banyak. Kalau dulu hanya Pepabri, sekarang ada Persatuan Purnawirawan TNI AL, AU, AD, dan sebagainya. Pengorganisasiannya pun cenderung (menimbulkan) konflik," jelas dia.
Tak ada masalah sebenarnya jika keterlibatan para jenderal itu dalam mendukung pencapresan Jokowi, murni karena pilihan hati nurani. Tapi bagaimana jika berita yang dilansir
VOA Islam itu benar? Sudah menjadi apakah sebenarnya negeri ini?
Selain Luhut B Panjaitan, inilah para purnawirawan jenderal TNI dan Polri yang kini berada dalam barisan Jokowi: mantan Wakil Ketua KPK Irjen Pol (Purn) Bibit Samad Rianto, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal (Purn) Wismoyo Arismunandar dan Subagyo HS. Ada juga mantan Kapuspen TNI Letjen (Purn) Yunus Yosfiah, mantan Aster TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo, Letnan Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Letjen TNI (Purn) Sumardi, Letjen TNI (Purn) Johny Lumintang, Letjen TNI (Purn) Abdul Muis, Mayjen TNI (Purn) Syamsir Siregar, Mayjen TNI (Purn) Samsudin, Mayjen TNI (Purn) Zainal Abidin. Mayjen TNI (Purn) Suadiatma, Mayjen TNI (Purn) Heriyono, Mayjen TNI (Purn) Zul Effendi Syarif, Laksamana Muda (Purn) Handoko, Mayjen TNI (Purn) Heriyadi, Marsekal muda (Purn) Sonny Rinjani, Brigjen TNI (Purn) Paulus Prananto, Brigjen TNI (Purn) Eddy Kustiwa, dan Letjen TNI (Purn) Sintong Pandjaitan. (bersambung)