Balai Konservasi DKI Kekurangan Tenaga Ahli Posted: 20 Dec 2011 08:19 AM PST | Merestorasi koleksi lukisan. |
Memprihatinkan! Meski ribuan koleksi tujuh museum dan situs-situs cagar budaya di Jakarta rawan rusak, namun tenaga ahli di Balai Konservasi jauh dari memadai. Bahkan meski penambahan jumlah ini telah diusulkan sejak beberapa tahun lalu, penambahan tak kunjung dilakukan Pemprov DKI Jakarta cq Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud). Menurut Marchel, kepala Tata Usaha Balai Konservasi, sedikitnya ada tiga faktor penyebab rawannya koleksi-koleksi tujuh museum dan situs cagar budaya menjadi rusak.Yakni karena faktor usia koleksi yang rata-rata sudah ratusan, bahkan ribuan tahun; akibat cuaca; dan akibat tangan-tangan jahil manusia.
"Yang diakibatkan tangan-tangan jahil biasanya berupa coretan-coretan pada prasasti, baik dengan spidol maupun cat semprot," katanya.
Tahun ini saja, sejak Januari hingga awal Desember, sekitar 2.000 lembar kertas bersejarah harus dipulihkan karena robek dan melapuk dimakan usia. Sementara koleksi berupa lukisan yang harus diperbaiki sebanyak 30 buah, perahu sebanyak 40 buah, tekstil sebanyak 100 buah, wayang golek sebanyak 225 buah, dan prasasti sebanyak 70 buah.
Diakui, perbaikan benda-banda ini sangat rumit dan dibutuhkan tenaga yang benar-benar ahli di bidangnya. Apalagi karena setiap tahun ada saja koleksi yang harus diperbaiki, dan jumlahnya ratusan.
"Saat ini jumlah tenaga ahli di Balai Konservasi hanya delapan orang. Ini jauh dari memadai. Dengan jumlah koleksi yang begitu banyak yang harus diperbaiki setiap tahun, idealnya di sini memiliki 30 tenaga ahli konservasi," kata Marchel lagi. Kepala unit tekhnik di bawah Disparbud ini mengaku, pihaknya telah sejak bertahun-tahun lalu mengusulkan penambahan jumlah tenaga ahli ini, namun hingga kini belum juga dipenuhi.
"Menurut informasi yang kami terima, salah satu kendala Disparbud dalam memenuhi jumlah tenaga ahli di sini adalah, karena tak mudah mendapatkan tenaga yang dibutuhkan, karena untuk dapat bekerja di sini yang dibutuhkan adalah ahli kimia, antropologi dan arkeologi," imbuhnya.
Menyikapi hal ini, anggota DPRD DKI Jakarta HA Nawawi mengatakan bahwa kendala itu dapat diatasi dengan cara berkoordinasi dengan berbagai universitas di Indonesia, seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), dan sebagainya. "Pada 1992 lalu saya pernah ditugasi menjadi pimpro Peninggalan Sejarah dan Purbakala, dan saya juga menghadapi kendala itu. Tapi setelah berkoordinasi dengan universitas-universitas, saya mendapatkan tenaga yang dibutuhkan," katanya.
Politisi Partai Demokrat ini mengaku sangat menyayangkan jika Balai Konservasi tidak memiliki jumlah tenaga yang ideal karena peran, tugas dan fungsi unit teknis di bawah Disparbud ini sangat vital dalam melestarikan koleksi-koleksi bersejarah. "Kalau jumlah tenaga ahlinya hanya delapan sedang yang harud dikonservasi demikian banyak, saya khawatir kinerja mereka jauh dari harapan," sesalnya.
Tujuh museum di Jakarta di antaranya Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, Museum Tekstil, Museum Batik, dan Museum Bahari. Koleksi ketujuh museum ini puluhan ribu buah, karena koleksi Museum Sejarah saja mencapai 22.000 buah, dan koleksi Museum Wayang sebanyak 5.000 buah.
|
Penerapan Sistem Digitalisasi Televisi di Indonesia, Mandeg Posted: 19 Dec 2011 06:57 PM PST Pemerintah Indonesia didesak untuk segera merealisasikan penerapan teknologi digital pada bidang industri media penyiaran televisi. Pasalnya, meski gagasan penerapan teknologi ini telah ada sejak 2006, hingga kini penerapan sistem itu mandeg karena pemerintah belum juga menerbitkan regulasinya. Desakan ini disampaikan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DKI Jakarta melalui siaran pers, Senin 20 Desember 2011. Ketua KPID DKI, Hamdani Masil, menjelaskan, penerapan digitalisasi televisi akan menimbulkan efisiensi dan optimalisasi dalam berbagai hal, antara lain efisiensi pada kanal siaran dan efisiensi infrastruktur penyiaran seperti menara pemancar, antena, dan saluran transmisi. Digitalisasi juga dapat meningkatkan resolusi gambar dan suara yang lebih stabil, sehingga kualitas penerimaan oleh pemirsa televisi akan lebih baik.
"Sejak 2006, pemerintah sebenarnya telah mendorong ujicoba siaran digital dan menyusun roadmap perubahan dari sistem analog yang saat ini digunakan, ke arah sistem teknologi digital. Pemerintah bahkan telah menyusun roadmap untuk migrasi sistem teknologi ini, dimana pada 2018 kelak seluruh sistem analog digantikan oleh sistem digital. Roadmap tersebut mencanangkan bahwa pada tahun 2013 dilakukan simulcast (pola siaran analog dan digital secara bersama) di kota besar, khususnya Jakarta, sebagai tahap awal migrasi sistem itu," jelas Hamdani.
Selain menimbulkan efisiensi dan optimalisasi, penerapan sistem digital pada media penyiaran televisi juga berpotensi menumbuhkan industri kreatif yang dapat menyerap tenaga kerja baru dalam jumlah signifikan mengingat akan semakin banyak kanal frekuensi televisi.
Namun sayangnya, hingga akhir 2011 ini regulasi yang mengatur teknis perubahan sistem tersebut belum tuntas. Sejauh ini, pemerintah baru menerbitkan beberapa Peraturan Menteri Kominfo yang terkait dengan standar penyiaran digital. Terbetik kabar bahwa pada Oktober 2011 lalu Kementerian Kominfo menerbitkan Peraturan Menteri bernomor 22/PER/M.KOMINFO/10/2011 dan 23/PER/M.KOMINFO/10/2011 mengenai implementasi digitalisasi berikut masterplan-nya, namun hingga saat ini Peraturan Menteri tersebut belum disosialisasikan, dan bahkan belum tersedia di website Kementerian Kominfo.
"Hal itu memunculkan kekhawatiran dari beberapa kalangan bahwa Kementerian Kominfo telah membagi-bagi frekuensi digital yang ada kepada pemodal-pemodal tertentu. Mudah-mudahan kekhawatiran itu tidak benar. Sebab, jika hal itu benar terjadi, migrasi ke sistem digitalisasi justu tidak mencerminkan semangat diversity of ownership (keragaman kepemilikan) dan diversty of content (keragaman isi tayangan) yang menjadi pilar dari Undang-Undang Penyiaran," lanjut Hamdani.
KPID DKI Jakarta mengaku merasa perlu mempertanyakan ketidaksiapan regulasi digitalisasi ini karena sepanjang tahun 2011 lembaga tersebut menerima banyak permohonan rekomendasi kelayakan dari pemohon-pemohon televisi digital yang hendak memproses izin penyiarannya. Kekosongan regulasi digitalisasi membuat perusahan-perusahaan tersebut tidak dapat melanjutkan proses perijinannya lebih jauh.
"Sebagian pemangku kepentingan di sektor penyiaran mulai pesimis bahwa migrasi ke arah digitalisasi itu memang disiapkan secara serius oleh Pemerintah. Faktanya, hingga saat ini persiapan ke arah sana berjalan dengan lambat," kata Hamdani.
Padahal, jika regulasi telah siap pun, perubahan ke arah digitalisasi tidak mudah dilakukan. Kesiapan industri, pemerintah daerah, dan masyarakat, menjadi tantangan berikutnya yang harus dipecahkan. Pesismisme kelompok-kelompok industri televisi besar juga menjadi persoalan yang harus dihadapi. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan digitalisasi semacam itu juga terjadi di negara-negara lain seperti Jepang dan Amerika Serikat.
"Akan menjadi pertanyaan besar, apakah masyarakat bersedia mengganti pesawat TV analog yang mereka miliki dengan TV Digital atau membeli set top box yang harganya lumayan mahal. Apalagi hingga saat ini belum ada sosialisasi yang bersifat masih mengenai migrasi teknologi ini," jelasnya.
Karena itu, KPID DKI Jakarta sebagai representasi stakeholder penyiaran di DKI Jakarta meminta kepada pemerintah untuk lebih serius menangani 'pekerjaan rumah' terkait digitalisasi. Pemerintah juga harus belajar dari pengalaman negara-negara lain dalam mengatasi hambatan dalam proses migrasi teknologis itu. Apalagi, menurut roadmap digitalisasi, hanya tersisa waktu satu tahun sebelum digitalisasi diberlakukan di DKI Jakarta.
|