Jumat, 12 April 2013

Sang Pemburu Berita

Sang Pemburu Berita


Atas Perintah Negara, Wanita Ini Meledakkan Pesawat Korea Selatan

Posted: 11 Apr 2013 01:05 AM PDT

KOREA UTARA, negara kecil dan miskin di semenanjung Korea, punya banyak cerita, karena negara ini seperti tak segan-segan membuat gara-gara yang membuat dirinya terperangkap dalam konflik berkepanjangan, sementara kemiskinan penduduknya tak kunjung dapat diatasi.

Saat ini, selain masih bermusuhan dengan "saudara kembarnya", Korea Selatan, Korea Utara juga tengah mengobarkan perang dengan Amerika Serikat. Dapat dibayangkan apa jadinya negara miskin itu jika benar-benar bertempur dengan negara adidaya yang kekuatan militernya jauh lebih hebat dan lebih canggih.

Di tengah-tengah konflik ini, ABC melansir sebuah berita yang cukup menghebohkan, yakni pengakuan seorang mantan mata-mata wanita Korea Utara yang sukses meledakkan pesawat Korean Air ber
nomor penerbangan 858 pada 1987, dan menewakan 115 orang di dalamnya.

Dalam wawancara eksklusif di program 7.30 ABC, Kim Hyun-hee yang saat ini hidup dalam pengasingan, menuturkan bagaimana ia mekakukan aksi keji yang kemudian membuat negaranya digolongkan Amerika Serikat sebagai negara yang mensponsori terorisme.

"Dari saat saya naik ke pesawat Korean Air itu, lalu meletakkan bom di locker atas, dan turun kembali dari pesawat, saya gugup sekali di setiap detik dari operasi itu," katanya.

Kim mengingat tahun-tahun sebelumnya ketika ia dipilih dari sebuah sekolah di Korea Utara untuk pelatihan menjadi mata-mata.

Ia mengakui, di Korea Utara, semua anak diajarkan bahwa pemimpin mereka, Kim Il-sung, adalah seorang dewa, dan mereka diajarkan untuk menghormati dia melebihi orang tua sendiri.

"Sejak kecil kemi belajar mengucapkan 'Terima kasih, Pemimpin Besar' untuk segala sesuatu. Dan kalau kita mengatakan sesuatu yang salah, meskipun itu tidak sengaja, kita akan dikirim ke gulag (kamp konsentrasi). Korea Utara bukan sebuah negara, tapi kultus pemujaan," katanya.

Pada 1970-an, rejim Korea Utara dengan cepat melihat bahwa Kim Hyun-hee yang masih remaja, mempunyai intelegensi yang tinggi, cantik dan bisa berbahasa Jepang.

Suatu hari, sebuah sedan hitam dari pimpinan pusat partai, datang ke sekolah Kim, dan mengatakan bahwa Kim terpilih menjadi mata-mata.

"Saya bahkan tidak diberi waktu untuk mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman. Saya cuma diberitahu untuk mengemasi barang-barang saya, dan diberi waktu satu malam untuk tinggal dengan keluarga," imbuhnya.

Pada 1980, Kim Hyun-hee dikirim ke sekolah elit pelatihan mata-mata di pegunungan terpencil, dimana ia diberi nama baru dan latihan bela diri, senjata dan bahasa. Delapan tahun kemudian, Kim dinyatakan telah siap untuk menjalankan misi yang dirancang oleh putra dari pendiri Korea Utara dan orang yang menjadi pemimpin negara itu selanjutnya, Kim Jong-il.

"Di Korea Utara, orang harus meminta ijin kepada Kim Jong-il untuk hal-hal paling kecil. Apalagi sebuah misi mata-mata. Ia secara pribadi memerintahkan operasi untuk membom penerbangan Korean Air," jelas Kim lagi.

Target akhir dari misi Kim adalah Olimpiade Seoul 1988. Jong-il berharap, pemboman penerbangan 858 Korean Air akan menyebabkan tim-tim asing takut menghadiri Olimpiade.

Untuk melaksanakan misi itu, Kim Hyun-hee didampingi oleh mata-mata legendaris Korea Utara, Kim Seung-il. Berdua, mereka terbang dari Pyongyang ke Moskow dan kemudian pergi ke Budapest dimana mereka diberi paspor Jepang palsu dan mulai berpura-pura sebagai ayah dan anak yang melakukan perjalanan di Eropa.

"Saya dan partner saya mempunyai pengalaman sebagai mata-mata di Eropa. Kami merasa percaya diri di sana dan tahu bagaimana bandar udara beroperasi," kata Kim lagi.

Mereka kemudian menuju ke Baghdad, dimana mereka mempersiapkan tahap terakhir dari misi mereka. Dari sana, mereka naik sebuah pesawat Korea Selatan dengan membawa sebuah bom yang disembunyikan di dalam sebuah radio transistor. Kim sudah menyetel timer di bom itu untuk meledak sembilan jam setelah Pesawat Korean Airlines dengan nomor penerbangan 858 tinggal landas. Saat pesawat terbang ke Seoul, bom diletakkan di locker atas.

Setelah bom diletakkan, Kim dan partnernya turun dari ketika pesawat transit di Abu Dhabi, dan menuju ke Bahrain.

Tidak lama kemudian, pesawat itu jatuh bersama kru dan penumpangnya yang berjumlah 115 orang.


Di Bahrain, Kim yang kala itu berusia 25 tahun, ingin segera melarikan diri, tapi tak tahu harus kemana.

"Kami harus keluar dari Bahrain, tapi pesawat kami berikutnya baru akan berangkat dua-hari kemudian. Saya begitu gelisah," katanya.

Dua hari kemudian Kim dan partnernya didatangi pihak berwenang yang mengetahui bahwa mereka melakukan perjalanan dengan paspor palsu.

"Ketika digeledah, mata-mata kawakan Kim Seung-il mengatakan kepada mata-mata yang muda, Kim Hyun-hee, waktunya tiba untuk menggigit sebuah kapsul sianida yang disembunyikan di rokok mereka.

"Ia berkata 'kita akan diinterogasi, dan pada akhirnya kematian menanti kita. Saya sudah hidup cukup lama dan sudah tua. Tapi kamu masih muda. Kasihan kamu'," katanya.

"Saya tahu bahwa kalau sebuah operasi gagal, mata-mata harus bunuh diri. Maka saya menggigit kapsul sianida itu. Saat itu saya teringat ibu saya di Korea Utara. Kemudian saya pingsan."

Mata-mata kawakan itu meninggal hampir seketika, tapi Kim Hyun-hee berhasil diselamatkan dan setelah pulih kesehatannya diterbangkan ke Koera Selatan untuk diadili.

Semula, kata Kim, ia menolak memberi informasi kepada para interogatornya, baru setelah mereka membawanya dengan mobil melewati jalan-jalan di Seoul, barulah ia menyadari semua kebohongan yang ditanamkan oleh rejim Korea Utara.

"Saya melihat ternyata Seoul modern," katanya.

"Saya mendengarkan bagaimana agen-agen intelijen di sekitar saya berbicara dengan begitu bebas. Ini bertentangan dengan apa yang diajarkan kepada saya di Korea Utara. Saat itu saya menyadari bahwa saya telah membunuh orang-orang tak berdosa dan saya akan dijatuhi hukuman mati."

Kim divonis hukuman mati tapi kemudian mendapat pengampunan, karena pemerintah Korea Selatan memutuskan ia dicuci otak.

Ia kini hidup di sebuah lokasi rahasia di Korea Selatan, setiap saat dikelilingi oleh enam pengawal, karena dikhawatirkan regu pembunuh Korea Utara mungkin akan menyerang setiap saat.

"Saya layak dihukum mati atas apa yang saya lakukan. Tapi saya percaya, saya diampuni karena saya adalah satu-satunya saksi dalam aksi teror yang dilakukan Korea Utara." katanya.

"Sebagai satu-satunya saksi, hidup saya adalah untuk memberi kesaksian tentang kebenaran."

Bagi Kim Hyun-hee, kenyataan bahwa seorang generasi ketiga dinasti Kim mengancam dunia sangat mengerikan.

Ia tahu, mereka yang paling menderita adalah jutaan orang yang hidup, bekerja dan mati dibawah rejim tersebut, termasuk keluarga yang ditinggalkannya.

"Saya pernah mendengar cerita dari seorang pembelot yang melihat keluarga saya di sebuah kamp konsentrasi sekitar 15 tahun lalu," katanya.

"Tapi sampai sekarang saya tidak tahu apa yang terjadi pada keluarga saya."

Ia berpendapat, ancaman paling akhir dari Korea Utara semuanya adalah upaya dari pemimpin Kim Jong-un, yang belum berpengalaman, untuk sok hebat di depan mata rakyatnya.

"Kim Jong-un masih terlalu muda dan terlalu tidak berpengalaman," katanya.

"Ia berusaha keras menguasai militer dan mendapatkan loyalitas mereka."

"Itulah mengapa ia sering berkunjung ke pangkalan militer, untuk menggalang dukungan."

Ia mengatakan, dampak dari apa yang dipaksakan oleh rejim Koera Utara untuk dilakukannya akan terus menghantui dirinya sepanjang hidupnya.

"Saya menyesali apa yang saya lakukan. Saya merasa saya tidak boleh menyembunyikan kebenaran terhadap sanak keluarga dari mereka yang tewas." katanya.

"Adalah tugas saya untuk memberitahu kepada mereka apa yang terjadi."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar